PENGEMBANGAN DAN RESTRUKTURISASI INDUSTRI MENUJU ZAIBATSU KE KEIRETSU

 


ESSAI TULISAN ILMIAH TENTANG PENGEMBANGAN DAN RESTRUKTURISASI INDUSTRI MENUJU ZAIBATSU KE KEIRETSU




Dosen:

Dr. Putri Elsy, S.S., M.Si

Disusun Oleh:

Lyondra Qayef Putra/125231071

 

Program Studi Sastra Jepang

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Airlangga

2025/2026

 

 

 

 

 

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam membandingkan sejarah industrialisasi dan modernisasi Jepang dengan negara-negara Barat, terdapat beberapa perbedaan penting. Pertama, proses modernisasi berlangsung jauh lebih lama di Barat. Kapitalisme Barat pertama kali muncul sekitar lima ratus tahun yang lalu; kemudian Revolusi Industri terjadi di Inggris sekitar tahun 1750; dan akhirnya kapitalisme korporasi industri mulai muncul pada paruh kedua abad ke-19.

Sebaliknya, Jepang berubah dari ekonomi agraris komersial tradisional menjadi ekonomi berbasis teknologi hanya dalam satu generasi. Zaibatsu merupakan institusi sentral dalam transformasi ini, dan memahami sejarah zaibatsu sangat penting untuk memahami bagaimana Jepang berkembang menjadi masyarakat teknologi modern (Morikawa, 1992).

Industrialisasi dimulai setelah kedatangan Komodor Perry di Teluk Edo pada tahun 1853. Terpacu oleh ancaman militer dan industri dari Barat, Jepang memulai upaya yang sungguh-sungguh untuk mentransformasi sistem ekonominya yang usang. Di Barat, kapitalisme industri berkembang dari bawah ke atas; namun, para pemimpin Jepang memilih untuk memaksakan industrialisasi dari atas ke bawah dengan menggunakan kekuatan pemerintah dan birokrasi pemerintah untuk mengimpor teknologi dan pengetahuan Barat.

Beberapa negara, seperti Kanada, sangat bergantung pada modal asing untuk melakukan industrialisasi; tetapi para pemimpin Jepang memutuskan untuk menggunakan modal dan struktur ekonomi Jepang sebanyak mungkin. Hal ini dilakukan karena tujuan mereka bukan hanya untuk memodernisasi Jepang. Sebaliknya, mereka bertekad untuk membangun basis ekonomi yang kuat, yang dimiliki dan dikendalikan oleh kepentingan publik dan swasta Jepang, guna melindungi otonomi politik dan ekonomi bangsa. Oleh karena itu, meskipun para pemimpin Jepang pada abad ke-19 secara agresif mengimpor teknologi Barat, mereka tidak mendorong korporasi Barat untuk masuk ke pasar domestik Jepang secara besar-besaran dalam rangka membangun infrastruktur ekonomi baru Jepang.

Lalu, apa sebenarnya zaibatsu itu, dan bagaimana mereka berkontribusi pada modernisasi ekonomi Jepang? Zaibatsu adalah sekelompok perusahaan yang beragam dan dimiliki secara eksklusif oleh satu keluarga atau kelompok keluarga besar. Zaibatsu hadir dalam berbagai ukuran, mulai dari kombinasi industri dan keuangan raksasa seperti Mitsui, Mitsubishi, dan Sumitomo, hingga kelompok usaha menengah dan kecil. Bentuk zaibatsu tidaklah unik bagi Jepang, namun skala yang sangat besar dan jumlah zaibatsu yang terbentuk selama proses industrialisasi merupakan fenomena khas Jepang.

Dari sepuluh zaibatsu utama, Mitsui dan Sumitomo berasal dari masa Keshogunan Tokugawa, dan delapan lainnya (Mitsubishi, Yasuda, Asano, Furukawa, Fujita, Okura, Nakajima, dan Nomura) muncul selama paruh pertama era Meiji.

Pada awalnya, pemerintah Meiji harus memimpin proses industrialisasi, dengan secara langsung mengelola berbagai usaha mulai dari gudang senjata dan galangan kapal hingga layanan telegraf dan pertambangan. Ketika pemerintah menemukan para pengusaha yang bersedia bekerja sama dalam program industrialisasinya, mereka menjalin hubungan erat dan memberikan dukungan yang besar, sehingga menciptakan tipe baru dari pedagang politik.

BAB II ISI

2.1 Penilitian Terdahulu

Pada tahun 1880-an, ketika pemerintah menyerahkan industrialisasi kepada pihak swasta, keluarga-keluarga yang menerima tugas ini memainkan peran penting dan mendapat keuntungan dari upaya awal pemerintah untuk melakukan privatisasi industri. Banyak dari keluarga ini berpindah dari sektor keuangan dan pertambangan ke sektor pelayaran, pembangunan kapal, dan pengerjaan logam. Beberapa dari mereka membentuk perusahaan dagang untuk mengekspor produk mereka dan mengimpor bahan dan teknologi baru yang dibutuhkan untuk industrialisasi. Secara bersamaan, mereka juga mendirikan bank dan perusahaan asuransi untuk mendukung kegiatan industri dan perdagangan mereka.

Menjelang awal abad ke-20, kelompok bisnis multibisnis yang saling mendukung ini telah menjadi sumber modal berkelanjutan bagi transfer teknologi industri modern. Secara bertahap, anggota keluarga mundur dari semua posisi kecuali posisi puncak dalam zaibatsu, dan digantikan oleh para manajer profesional yang memiliki keterampilan teknik dan rekayasa yang lebih baik, serta kemampuan dalam bahasa asing.

Selama Perang Dunia I dan kemudian pada tahun 1920-an, zaibatsu menyediakan modal dan keterampilan manajerial yang dibutuhkan untuk membawa industri berbasis ilmu pengetahuan yang lebih maju ke Jepang—seperti industri kimia, peralatan listrik, mesin industri listrik, dan pengerjaan logam yang lebih canggih.

Pada tahun 1930-an, militer memiliki pengaruh besar terhadap operasi dan investasi perusahaan-perusahaan zaibatsu. Setelah Perang Dunia II, Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu membubarkan zaibatsu dan melarang perusahaan induk (holding company).

Sebagian besar ahli percaya bahwa masyarakat teknologi dapat berkembang di bawah ideologi politik apa pun, seperti kapitalisme liberal atau komunisme Marxis. Jepang menawarkan alternatif ketiga, yang bisa disebut sebagai kapitalisme birokratis. Perkembangan masyarakat industri Jepang menjadi contoh bagi banyak negara non-Barat di Asia dan Afrika.

Langkah-langkah yang diambil Jepang dalam modernisasi ekonomi—khususnya cara kekayaan tradisional diubah menjadi modal industri modern dan bagaimana modal pemerintah serta swasta dapat mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang tinggi tanpa mengorbankan otonomi Jepang—memberikan pelajaran yang patut dipertimbangkan oleh negara lain.

Lembaga keuangan seperti bank komersial dan perusahaan asuransi merupakan pemegang saham terbesar di perusahaan-perusahaan Jepang. Selain itu, terdapat tingkat kepemilikan saham yang jauh lebih terkonsentrasi dibandingkan dengan di Amerika Serikat. Lembaga keuangan mengambil porsi kepemilikan yang jauh lebih besar dalam perusahaan dibandingkan dengan di AS. Kepemilikan oleh manajemen tampaknya jauh kurang penting di Jepang dibandingkan di Amerika Serikat

2.2 pendalamam penilitan

Zaibatsu ke Keiretsu

Pada tahun 1950-an, perusahaan-perusahaan besar yang sebelumnya tergabung dalam zaibatsu sebelum pembubarannya, menghidupkan kembali nama-nama perusahaan zaibatsu lama. Namun, kelompok korporasi pascaperang ini tidak lagi dimiliki secara eksklusif oleh satu keluarga. Kelompok baru ini, yang sering disebut keiretsu, ditandai oleh kepemilikan saham secara bersama antar perusahaan anggotanya dan adanya konsultasi antar pimpinan puncak perusahaan-perusahaan anggota. Namun, mereka merupakan kelompok yang jauh lebih longgar dibandingkan dengan zaibatsu sebelum perang (Yoshitomi 1990).

Keiretsu yang terbentuk dari zaibatsu antara lain adalah Mitsui keiretsu, Mitsubishi keiretsu, dan Sumitomo keiretsu. Sanwa, Fuyo, Toshiba, Matsushita, dan Dai-Ichi juga termasuk di antara keiretsu besar lainnya.

Koordinasi aktivitas keiretsu dilakukan melalui pertemuan berkala antara para presiden dari perusahaan-perusahaan terpenting dalam tiap kelompok. Perusahaan perdagangan umum (general trading companies) dan bank-bank keiretsu juga berperan dalam fungsi koordinasi ini.

Dalam batas tertentu, anggota keiretsu menunjukkan preferensi untuk membeli produk dari sesama anggota grup, dan preferensi ini lebih kuat ketika berkaitan dengan membantu perusahaan sesama anggota dalam memperkenalkan produk baru, seperti superkomputer.

Selama bertahun-tahun, model keiretsu Jepang—yang ditandai dengan hubungan erat antara pemasok dan produsen mobil—dianggap sebagai model yang patut ditiru oleh negara-negara lain. Namun, resesi Jepang mengungkapkan kelemahan dari sistem keiretsu ini, yakni sistem di mana para pemasok suku cadang terikat dengan satu produsen mobil dalam hubungan yang simbiotik.

Struktur keiretsu ternyata memiliki landasan yang lemah karena didasarkan pada ketergantungan banyak produsen kecil untuk mencurahkan seluruh sumber dayanya kepada satu perusahaan saja; akibatnya, para produsen kecil ini pada dasarnya dikendalikan oleh perusahaan tersebut.

 

BAB III 

3.1 Kesimpulan

Perjalanan transformasi ekonomi Jepang dari sistem zaibatsu menuju keiretsu mencerminkan kemampuan adaptif Jepang dalam merespons tantangan modernisasi dan tekanan global, tanpa kehilangan kendali atas otonomi nasionalnya. Zaibatsu, sebagai kelompok bisnis keluarga yang mendominasi sektor industri dan keuangan Jepang pra-perang, memainkan peran sentral dalam mempercepat industrialisasi melalui kolaborasi erat dengan pemerintah, penguasaan teknologi, serta pembentukan jaringan produksi dan distribusi yang efisien.

Namun, setelah Perang Dunia II dan intervensi Sekutu, struktur ini dibongkar demi mengurangi konsentrasi kekuasaan ekonomi. Pembubaran zaibatsu tidak berarti akhir dari pengaruh kelompok-kelompok besar ini. Justru, mereka berevolusi menjadi keiretsu—struktur yang lebih longgar namun tetap kuat, dengan mekanisme kepemilikan silang antar perusahaan dan koordinasi manajerial yang menjaga stabilitas ekonomi Jepang pascaperang.

Meskipun sistem keiretsu sempat menjadi model global karena efisiensi dan solidaritas antar perusahaan anggota, krisis ekonomi di akhir abad ke-20 menunjukkan bahwa ketergantungan berlebihan dalam jaringan tertutup juga memiliki risiko besar. Oleh karena itu, evolusi dari zaibatsu ke keiretsu adalah contoh nyata bagaimana sistem ekonomi besar bisa direstrukturisasi untuk bertahan dalam perubahan zaman—meski tetap perlu dievaluasi ulang seiring perkembangan globalisasi dan teknologi.

 

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Morikawa, H. (1992). Zaibatsu: The Rise and Fall of Family Enterprise Groups in Japan. Tokyo: University of Tokyo Press.

Yoshitomi, M. (1990). The Keiretsu System: Corporate Structure and Management in Japan. Tokyo: Asian Productivity Organization.

Karan, P. P. (2005). Japan in the 21st Century: Environment, Economy, and Society. Lexington, KY: The University Press of Kentucky.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments